Sabtu, 23 Juni 2012

Permainan Bola, Tabut dan Aliran Islam Syiah

Sewaktu kecil, saya suka bermain bola bersama teman, dan kalau ada kesempatan suka menonton permainan sepak bola orang dewasa, walau belum paham betul aturan-aturannya.

Ibu saya adalah seorang yang sangat taat beragama, dan bapak saya disamping taat juga seorang guru mengaji. Keduanya sangat suka bercerita tentang agama kepada saya sehingga saya banyak menerima ilmu agama dari kedua orang tua saya.  Suatu ketika ibu saya bercerita tentang asal muasal permainan sepak bola.

Menurut cerita ibu saya itu, permainan bola berasal dari orang-orang kafir yaitu ketika mereka membunuh cucu nabi Muhammad yang bernama Husein dalam perang di Kerbala. Kepala Husein dipenggal, kemudian ditendang-tendang, laiknya orang bermain (sepak) bola saat ini. Karena saya masih kecil, cerita itu saya terima saja tanpa menggugat, toh saya tidak dilarang bermain bola, bahkan bapak saya seorang pemain bola yang fanatik walaupun beliau seorang guru agama.

Sebagai ilustrasi, ibu saya menjelaskan perayaan (sebetulnya peringatan) Tabut, yang di daerah kami disebut Tabuik. Tabut itu menggambarkan peristiwa perang Kerbala antara “orang kafir” dengan Islam; dan diakhir peringatan Tabut (berupa ornamen besar dan berhiaskan berbagai pernak-pernik) akan digoyang dan dilonjak-lonjakkan keatas oleh para pembawanya dengan teriakan “Ya Hasan, Ya Husein, Ya Hasan, Ya Husein….” terus menerus, diarak kearah pantai, akhirnya dibuang ke laut. Itu sebagai tanda, Hasan dan Husein telah meninggal dan arwahnya diangkat menghadap sang Khalik.

Nah, apa hubungannya dengan Syiah?

Setelah saya dewasa, mempelajari banyak buku sejarah termasuk sejarah Islam, saya baru faham, begini: Penguasa Kota Makkah terakhir sewaktu Makkah ditaklukkan oleh pejuang Islam adalah Abu Sofyan. Demikian bencinya Abu Sofyan kepada Islam sehingga permintaan ijin umat Islam untuk menziarahi Ka’bah (berhaji) dijawab dengan ultimatum, apabila orang Islam berani masuk Makkah, tentara Abu Sofyan akan membunuh semuanya. Padahal, utusan yang menghadapnya adalah langsung dari Nabi Muhammad. Akhirnya atas perintah Nabi, sekitar sepuluh ribu orang Islam bergerak menuju Makkah dari Madinah, bersama Nabi sendiri sebagai panglima perang. Ultimatum diserukan pada Abu Sofyan agar menyerah atau diserbu oleh umat Islam. Dan tentara Abu Soyan yang ketakutan akhirnya tak berhasil membendung tentara Islam masuk Makkah, dan Abu Sofyan menyerah. Atas perintah nabi tak boleh ada yang melukai seorangpun penduduk Makkah, sehingga Makaah direbut tanpa setetes darahpun yang tumpah. Kejadian ini membuat penduduk Makkah bahkan akhirnya Abu Sofyan masuk Islam.

Kekalahan Abu Sofyan ini bukan berarti semua keluarganya  setulus hati melepaskan hak memerintah Makkah yang secara turun temurun mereka warisi. Walaupun seluruh keluarga Abu Sofyan masuk Islam, dan sepupunya Usman bin Affan (r.a) diangkat menjadi Khalifah ke tiga, namun dendam keluarga, khususnya dari anak cucu Abu Sofyan ini tetap membara, khususnya terhadap keturunan Abdul Muthalib (kakek Nabi).
Nah, kemudian datanglah waktu yang mereka nanti-nantikan.

Nabi wafat, sahabat dekatnya Abubakar Sidik (r.a) dibaiat menjadi khalifah pertama. Pengumuman wafatnya Nabi dilakukan setelah para sahabat membaiat Abu Bakar Sidik secara diam-diam agar jangan terjadi kekosongan pemimpin. Ini ditanggapi oleh keluarga Nabi secara negatif, karena mereka menginginkan menantu Nabi sekaligus sepupu beliau yakni Ali bin Abi Thalib yang diangkat. Kekecewaan berlanjut ketika Abubakar Sidik wafat, diangkat Umar bin Chattab (r.a), masih bukan Ali.  Oleh sesuatu hal Umar terbunuh, penggantinya lagi-lagi Usman bin Affan bukan juga Ali. Sebagai keluarga dekat Abu Sofyan, banyak yang merasa Usman melakukan Nepotisme, banyak mengangkat para saudara/familinya menjadi gubernur dan walikota, diantaranya Muawiyah bin Abu Sofyan sebagai Gubernur di Syria!!!

Kemudian ketika Usman terbunuh, barulah para sahabat Nabi mengangkat Ali bin Abi Thalib (r.a) sebaga Khalifah ke empat. Oleh karena kesibukan dalam peperangan, Ali tak kunjung mengusut pembunuh Usman. Dan itu membuat keluarga Abu Sofyan berang, akhirnya memberontak terhadap Khalifah Ali. Dengan cara tipu muslihat Muawyiah membunuh Ali, dan menyatakan diri sebagai Khalifah yang baru. Dimulailah pemerintahan Muawiyah !!! Dan dendam lama berkobar dalam dirinya, ingin mehabisi semua keluarga Nabi termasuk semua keturunan Abdul Muthalib. Mari kita ulas sedikit riwayat yang mendahuluinya.

Nabi Muhammad tidak mempunyai anak lelaki yang mencapai dewasa. Satu-satunya anak lelakinya meninggal saat masih kecil. Jadi keturunan Nabi hanyalah dari anak perempuannya Fatimah yang dikawinkan dengan sepupu Nabi sendiri yakni Ali bin Abi Thalib (Abi Thalib adalah paman Nabi). Dari anak perempuannya itulah nabi mendapat dua orang cucu Hasan dan Husein. Kasih sayang Nabi pada kedua cucu tersebut sangat besar. Kadang-kadang Nabi sedang sholat, mereka bermain diobelakang Nabi, Nabi rukuk mereka berlari dibawah selangkangan Nabi, dan ketikaNabi  sujud, sering pula mereka naik keatas punggung Nabi. Hal ini dilihat oleh para sahabat yang kemudian pernah bertanya, kenapa Nabi begitu sayang pada kedua cucunya itu. Jawab Nabi: “Kedua cucuku ini adalah keturunanku, anak-anakku, dan mereka ini akan menjadi sayyid bagi para pemuda di surga”.

Sampailah saat kedua cucu Nabi itu dewasa dan menikah. Karena keduanya suka bergaul dengan para pemuka Islam lain, mereka berkenalan dengan Muawiyah bin Abu Sofyan tersebut diatas. Khususnya Hasan, sangat dekat kepada Muawiyah. Ia tak tahu bahwa Muawiyah menaruh dendam tak habis-habis.

Ini menurut cerita yang berkembang di kalangan syiah: "Suatu ketika Muawiyah mengajak Hasan makan-makan disertai minum-minum. Tanpa disadari Hasan ia diberi minuman keras (khamar) yang membuatnya mabuk. Dalam keadaan mabuk, Hasan didekati oleh anak perempuan Muawiyah (dipancingkan oleh Muawiyah). Dan terjadilah perzinaan yang menyebabkan hamilnya anak perempuan Muawiyah itu.  Serta merta Muawiyah mengadu kepada Nabi, menyatakan bahwa Hasan menzinahi anak perempuannya dan jadi hamil, sehingga menuntut keadilan. Setelah Hasdan dipanggil Nabi dan mengakui perzinaan dalam keadaan mabuk, dengan menyingkirkan rasa sayangnya pada cucunya itu, Nabi tetap menghukum Hasan. Karena Hasan telah menikah, maka hukum zinanya adalah hukuman dera sampai 100x alias sampai mati. Nabi cuma memberi keringan pada Hasan dengan pertanyaan: “Hasan, kamu cucu kesayanganku telah berbuat zina. Kau pilihlah mau dihukum didunia ini namun diakhirat masuk sorga, atau kamu tidak dihukum tapi kamu masuk neraka, aku tak bisa menolongmu”. Hasan memilih dihukum di dunia saja, dan Nabi memberi sedikit keringanan, hukumnya bukan dicambuk, tapi disuruh minum racum. Hasan patuh, wafatlah Hasan, gembiralah Muawiyah".
Namun cerita itu tak masuk akal: Hasan menikah setelah Nabi wafat, ia memang mati diracun namun bukan karena dihukum Nabi karena berzina. Ia masih sembilan tahun waktu Nabi wafat dan meninggal pada usia 48 tahun karena diracun, entah oleh siapa, yang pasti ia tak punya musuh kecuali kelompok Muawiyah yang ingin menyngkirkan semua keluarga dekat Nabi. Cerita itu mungkin dikarang dengan dua tujuan. Pertama agar orang Islam jangan melakukan zina. Kedua karena ingin menunjukkan dendamnya kepada Muawiyah.

Kembali kepada Muawiyah yang telah menyatakan diri sebagai Khalifah bermaksud menghabisi semua keturunan Nabi dan keturunan Abdul Muthalib. Terjadilah pembunuhan-pembunuhan di Makkah. Karena takut, sekitar 300 orang keturunan Abdul Mutahlib sempat melarikan diri ke arah Bagdad. Muawiyah tak kehilangan akal, walikota Bagdad yang tadinya berpihak pada keluarga Nabi, digantinya dengan anaknya Yazid bin Muawiyah bin Abu Sofyan. Dalam keadaan kehausan setelah menempuh perjalan jauh dari Makkah, sesampainya dipinggir Bagdad, Kerbala, rombongan itu diserang tentara Yazid. Perang yang tak seimbang, sekitar 200 orang lelaki keluarga Nabi, melawan sekitar 10.000 tentara Yazid. Hampir semua anggota rombongan dibunuh, termasuk Husein bin Ali, cucu nabi. Kedua cucu Nabi, Hasan dan Husein,  meninggal pada hakikatnya akibat dendam Muawiyah. Untunglah beberapa orang lolos dari pembantaian itu, termasuk anak dari Hasan dan anak dari Husein dan anak dari Abbas (r.a) paman Nabi dilarikan pengawal ke Iran. Dari merekalah terbentuk aliran Syiah, dari merekalah terlahir para penyebar Islam awal ke Aceh dan Sumatera pesisir barat dan Ternate. Para keturunan mereka disebut Alawin (sebagai keturunan Ali), menyebar ke seluruh dunia termasuk Nusantara, menjadi sekitar 80 marga (misal, Al Aydrus, Al Khaidar, Assegaf, Al Jufri, Al Kaf, Al Jamalullail, Ba Hasyim, Al Musawa dsb). Meraka dipanggil Sayyid, Said, Syeh, Habib, dan di Pantai Barat Sumatera dipanggil Sidi (keturunan Al Jamalullail).

Nah pada mulanya, para Alawin tersebut justru membawa ajaran Islam Syiah ke Indonesia, namun karena perkembangan, ajaran itu bercampur dengan aliran Sunnah, sehingga tak ada lagi yang benar2 aliran Sunnah dan tak ada pula yang benar2 aliran Syiah. Sisa kebiasaan Syiah di pesisir Barat Sumatera, ya itulah peringatan Tabut (di Pariaman disebut Tabuik, di Bengkulu disebut Tabot).

Dan yang membunuh Husein itu bukan orang kafir seperti cerita ibu saya. Muawiyah itu Islam, dinastinya justru memperluas wilayah Islam ke hampir sepertiga Eropa dan Asia.

Sepanjang yang saya amati tak ada perbedaan mencolok antara Sunnah dan Syiah, khususnya di Indonesia. Walau kedua orang tua saya pada mulanya mendapat didikan “seperti” Syiah, justru akhirnya mereka menjadi  berfaham Muhamadiah. Ritual sholat yang saya pelajari dari mereka tak ada perbedaan dengan Muhamadiah.
Tetap menyenangi sepak bola, tetap memelihara kebudayaan Tabut, tak ada Syiah, tak dibedakan Sunnah, semua Islam. Bahkan para Habib (Alawin) justru menyatakan diri Aswaja (Ahli Sunnah Wal Jamaah).