Minggu, 17 Agustus 2014

Dari Batavia Hingga Emma Haven

Pada suasana hari kemerdekaan ini, tidak ada salahnya kita mengenang bagian sejarah tentang nama-nama kota di Indonesia, persisnya di zaman Hindia Belanda.

Pada sekitar tahun 1603, Cornelis de Houtman sebagai pimpinan pasukan Perusahaan Dagang Belanda VOC (Verenigde Oast Indische Company) merebut Jayakarta dari penguasaan Pangeran Jayakarta. Pangeran Jayakarta sendiri adalah penguasa dan pangeran dari Kerajaan Banten. Belanda yang semula hanya punya kantor dagang di Pulau Onrust di Kepulauan Seribu memindahkan kantor dagangnya ke Jayakarta. Nama Jayakarta diubah menjadi Neuw Batavia namun selanjutnya hanya disebut Batavia. Sebenarnya nama Batavia diambil dari nama sebuah wilayah di Negeri Belanda.

Perluasan wilayah Batavia menimbulkan kegusaran Sultan Agung dari Kerajaan Mataram. Dua kali Sultan Agung mengirim pasukan untuk merebut Batavia, namun tak berhasil. Bahkan VOC berhasil memperluas wilayahnya sampai ke Jatinegara. Dan Jatinegara diberi nama baru, Mester Cornelis.

Pergolakan dan perebutan kekuasaan di Mataram membuat Belanda memiliki kesempatan untuk memperluas lagi wilayahnya. Salah satu kota yang (pernah) dijadikan pusat pemerintahan VOC adalah Bogor. Dan nama kotanyapun diubah menjadi Buitenzorg.

Karena terjadi banyak korupsi dalam usaha VOC, perusahaan tersebut hampir bangkrut. Maka “Tuan-Tuan Tujuh Belas” yang berkuasa atas VOC menurut Peraturan Perusahaan, menyerahkan sepenuhnya properti VOC termasuk tanah-tanah yang dikuasainya di Nusantara kepada Pemerintah Belanda. Jadilah nama Hindia Belanda sebagai bagian wilayah (jajahan) Belanda dengan pimpinan seorang Gubernur Jenderal.

Selanjutnya perubahan nama kota-kota di Hindia Belanda terjadi di wilayah yang sekarang disebut Sumatera Barat. Semula atas kemurahan hati seorang datuk  di Minangkabau, VOC dibolehkan membuat kantor dagang di Pulau Cingkuak laiknya yang terjadi di Batavia pada Pulau Onrust.
Tiga orang pembaharu Islam kembali dari Mekah, yaitu Tuanku Sumanik, Tuanku Piobang dan Tuanku Imam Bonjol (Peto Syarif). Mereka ingin mengubah kebiasaan orang Minang waktu itu yang walaupun beragama Islam, tapi suka berjudi, menyabung ayam dan masih mempercayaai kebiasaan-kebiasaan tradisional. Hal itu ditentang olah Kerajaan Minangkabau. Terjadilah perang antara pasukan pembaharu Islam itu dengan Kerajaan. Dan disini, Belanda langsung mengambil peran sebagai yang dilakukannya dalam menguasai Jawa bahkan Nusantara. Belanda membantu Kerajaan namun dengan janji Belanda punya kekuasaan atas wilayah Minangkabau selanjutnya. Dan Belanda dapat pijakan dengan diberikannya wilayah kota Padang (sekarang) sebagai wilayah Hindia Belanda awal di daratan pulau Sumatera.

Oleh karena pasukan pembaharu Islam itun berpakaian gamis serba putih sebagaimana seorang pader dalam agama Kristen, belanda menyebut mereka sebagai pasukan Paderij. Jadilah peperangan itu sebagai perang antara Belanda dengan pasukan Paderij, maka disebut sebagai Perang Paderi. Namun karena pimpinannya adalah Imam di Bonjol (Tuanku Imam Bonjol) maka perang itu juga disebut sebagai Perang Bonjol. Itu terjadi pada tahun 1821. Selama empat tahun tak banyak kemajuan tentara Belanda, karena pasukan Paderi sangat militan, apalagi mereka menguasai medan.

Tiba-tiba pada tahun 1825 di Jawa terjadi pemberontakan Pangeran Diponegoro atas Kerajaan Mataram. Walau dengan latar belakang berbeda, sebenarnya Diponegoro juga sedang melakukan pembaharuan Islam di Mataram persis seperti Tuanku Imam Bonjol di Minangkabau. Sebenarnya Tuanku Sumanik, Tuanku Piobang dan Peto Syarif (Imam Bonjol) di Minangkabau adalah seperguruan di Mekah dengan Pangeran Diponegoro dan Sentot Alibasyah (Wakil Panglima Diponegoro). Dan Mataram minta bantuan Belanda untuk memadamkan pemberontakan. Alhasil jadilah Perang Diponegoro. Saking hebatnya perang itu, Belanda menyebut itu Perang Jawa, menyedot banyak biaya perang dan pasukan yang diperlukan lebih banyak pula. Karena Batavia ada di Jawa sebagai pusat pemerintah Hindia Belanda, maka mau tak mau Belanda lebih mendahulukan Perang melawan Diponegoro dibanding melawan Imam Bonjol. Maka Belanda menarik sebagian besar tentaranya dari Sumatera, sehingga Perang Paderi seakan “terhenti”, dan pasukan  Imam Bonjol tetap menguasai bagian terbesar Minangkabau. Akhirnya perang memang dimenangkan Belanda, dengan kelicikannya Belanda dapat menawan Diponegoro pada tahun 1830, dan dibuang ke Manado bersama keluarga dan pengikut-pengikutnya

Sehabis perang Diponegoro, Belanda langsung memulai lagi perang dengan pasukan Paderi pada tahun 1830. Dan untuk menaklukkan Imam Bonjol Belanda memakai taktik baru, bisa disebut “milestone”.  Kota-kota di Minangkabau direbut satu persatu dan setiap selesai merebut satu kota besar, dibuatlah benteng agar tak bisa direbut kembali oleh pasukan Paderi. Sistim perang seperti itu memang memakan waktu lama, namun sangat efektif untuk wilayah yang sulit. Pernah Belanda merekrut Sentot Alibasyah (ex wakil Panglima Diponegoro) untuk membantu menaklukkan Imam Bonjol, namun tentu saja Sentot hanya pura-pura “menyerang” temannya itu. Akhirnya Sentot bisa melarikan pasukannya ke Aceh selatan sebelum jatuhnya Bonjol. Dan jangan heran kalau bertemu ada orang Aceh yang menyebut nama kakeknya misalnya “Tukimin”, Jawa banget. Memang ternyata ia keturunan tentara Sentot Alibasyah tersebut.

Direbutlah kota BukikTinggi (lidah Minang untuk nama Bukittinggi) dan dibuat benteng yang diberi nama pimpinan militer Belandanya (Jenderal de Kock), maka nama kota Bukittinggi diganti menjadi Fort de Kock. Seorang Mayor Belanda bernama Van der Cappelen berhasil merebut kota Batusangkar dan langsung mendirikan benteng yang diberi namanya pula. Jadilah nama Batusangkar diubah menjadi Fort Van der Cappelen. Diperlukan waktu tujuh tahun oleh Belanda untuk merebut benteng pasukan Paderi di Bonjol. Dengan kelicikannya yang khas, Belanda akhirnya dapat menangkap Tuanku Imam Bonjol pada tahun 1837 dan dibuang ke Makassar bersama keluarga dan pengikut-pengikutnya.

Nah tibalah kita pada nama Emma Haven. Setelah Belanda menguasai Minangkabau secara penuh, wilayah itu diberi nama Sumatera Westkust. Pelabuhan kota Padang, Taluak Bayua (lidah Minang untuk Teluk Bayur) dibuat dibelakang pulau Cingkuak, dengan panorama yang indah, Gunung Padang. Oleh karena indahnya pelabuhan itu, Belanda sendiri terkesan dan memberinya nama Emma Haven, dimana Emma adalah nama kecil salah seorang ratu Belanda. Jadi tak salah nyanyian biduan Erni Johan menyebut dalam lagunya: “Selamat tinggal Teluk Bayur permai……..dst.
Catatan: fort artinya benteng; haven artinya pelabuhan

Salam hari kemerdekaan Indonesia.