Rabu, 12 Mei 2010

Hilangnya Sopan Santun Bahasa Ketimuran

Bahasa-bahasa daerah di Indonesia pada awalnya memiliki ciri kesantunan sebagai Bangsa Timur. Bangsa Timur diindikasikan sebagai bangsa-bangsa Asia Timur dan Tenggara sebagai pembedaan atas istilah Bangsa Barat yang umumnya terdiri atas bangsa-bangsa Eropa yang kemudian diperluas meliputi juga bangsa Amerika.

Salah satu ciri bahasa orang Timur adalah dalam menyebutkan diri sendiri selalu merendah, baik kepada orang tua sendiri, kepada orang yang lebih tua, kepada orang yang dihormati ataupun kepada orang yang baru dikenal.

Penulis tidak ingin mengulas bahasa orang timur di Indonesia pada zaman “Siti Nurbaya” misalnya karena saat itu Indonesia masih dijajah, yang kemungkinan dipengaruhi status bangsa jajahan. Yang saya perhatikan adalah perbandingan bahasa penyebutan diri sendiri pada saat ini dengan beberapa dekade sebelumnya.

Sewaktu saya masih dikampung, menyebut diri sendiri kepada orang tua atau orang yang lebih tua adalah saya . Kepada mereka saya memanggil pak atau ibu, kak atau abang.
Sewaktu saya tinggal di Bandung, saya belajar bahasa Sunda sekaligus mencari padanan kata-kata bahasa Indonesia, Sunda dan Jawa. Saya temukan padanan kata saya dari bahasa Indonesia adalah abdi dalam bahasa Sunda dan kula atau dalem (singkatan abdi dalem) dalam bahasa Jawa. Semua kata tersebut bercirikan rakyat jelata yang menyebutkan dirinya kepada raja. Saya (singkatan sahaya), abdi, kula (singkatan kawula) dan dalem sama-sama berarti rakyat dari raja. Dalam hal menyebut diri kepada teman sejajar, dalam bahasa Indonesia tetap saya atau aku. Hal sepadan dalam bahasa Sunda adalah urang atau aing (agak pasaran), sedang dalam bahasa Jawa adalah tetap aku .

Dalam bahasa Sunda sebutan kepada orang tua atau yang dihormati adalah den (singkatan raden) atau yang lebih hormat lagi gan (singkatan dari juragan) atau anjeun (untuk wanita). Kepada yang sejajar disebut maneh, atau sia (agak pasaran).

Dalam bahasa Jawa bahkan ada tingkatan sosial yang membedakan bahasa. Bahasa orang yang derajad sosial tinggi kepada yang lebih rendah, berbeda dengan bahasa orang yang derajad lebih rendah kepada yang lebih tinggi. Hal ini tidak akan saya bahas disini. Panggilan kepada orang yang dihormati bisa sampean, atau panjenengan.

Tapi semua itu ada pada jaman beberapa dekade lalu. Sehingga saya terkaget-kaget pada beberapa tahun terakhir. Pembantu saya orang Sunda, menyebut dirinya aku dan pembantu saya orang Jawa juga menyebut dirinya aku. Teman anak saya berbicara kepada saya menyebut dirinya aku. Semua orang sepertinya mengikuti bahasa sinetron, kepada siapapun menyebut dirinya aku.

Saya bukanlah ingin menghidupkan (kembali) bahasa berbau feodal atau aristokrat, namun saya agak risih juga berbicara dengan seorang anak kecil dan dia menyebut dirinya aku. Saya merasa sopan santun bahasa sebagai orang timur sudah hilang. Masihkah kita mengaku berbudaya tinggi, ramah tamah, sopan santun layaknya orang Indonesia? Sepertinya perkembangan bahasa terlalu proletar sehingga kehilangan sifat sopan santunnya.