Rabu, 04 Agustus 2010

Bandid "Pahalawan" vs Bandid Haram Jadah

Istilah “Bandit” terlanjur digunakan oleh sebagian Kompasianer sebagai sebutan untuk para Koruptor, para pengemplang pajak, para pejabat yang makan suap dan tukang peras.
.
Marilah kita melihat secara dinamika ekonomi kepada para “bandit” itu.
.
Apabila seseorang mengumpulkan kekayaan dengan cara tidak wajar seperti disebut diatas sehingga kekayaannya menjadi sangat besar, ada tiga kategori yang pantas dan layak diberikan:
.
1. Apabila kekayaannya sudah sangat besar, tapi cuma dipakai untuk berfoya-foya, membeli banyak rumah, tanah-tanah yang luas untuk investasi, membeli dan menyimpan berkilo-kilo emas, bahkan mungkin beristri simpanan satu, dua atau lebih.
Dia dapat diberi gelar "Bandit Kelas Tikus".
Tak ada manfaat kekayaannya buat masyarakat, padahal ia mengumpulkan harta haram dari Negara. Untuk mendepositokan uangnya pasti dia takut ketahuan dilacak oleh PPATK.
Orang seperti ini banyak sekali, umumnya pejabat yang tak bisa berniaga, taunya cuma suap dan peras.
.
2. Apabila kekayaannya dari hasil usaha tidak wajar, entah dengan menipu masyarakat, mengemplang kredit bank, mengemplang pajak dan sebagainya dan ketika kekayaannya demikian besar dan takut diselidiki, ia melarikan uangnya ke Negara lain.
Ia berinvestasi disana, membuka usaha disana dan tentunya membuka lapangan kerja bagi penduduk Negara tempat ia berinvestasi atau membuka usaha itu.
Nah orang ini dapat disebut “Bandit Haram Jadah”.
Tak ada manfaat kekayaannya bagi masyarakat. Indonesia hanya dijadikan tempat ia mengumpulkan uang haramnya, ia tidak punya rasa nasionalisme.
Orang seperti ini banyak, biasanya melarikan uangnya ke Singapura, Australia, Hongkong, Cina, Thailand dsb.
.
3. Apabila kekayaannya dari hasil usaha tidak wajar, entah dengan mengemplang pajak atau mengemplang kredit bank, sehingga kekayaannya demikian besar, namun ia tetap berada di Indonesia.
Ia tetap memperbesar dan memperbanyak usaha di Indonesia, memberi lapangan kerja kepada masyarakat Indonesia, membayar (walau sebagian dikemplang) pajak kepada Negara Indonesia. Kategori apa yang pantas diberikan padanya?
Pada perusahaan-perusahaan yang dibangunnya (yang mungkin sebagian dari uang haram- tuduhan yang mungkin belum dibuktikan), ia memberi lapangan kerja kepada mungkin ribuan orang, memberi makan kepada bisa jadi puluhan ribu karyawan dan keluarganya.
Tentu saja sebagai manusia ia juga menikmati kekayaannya.
Saya percaya ia pantas dimasukkan dalam kategori “Bandit Pahalawan” karena pastilah ia berpahala memberi lapangan kerja pada bangsanya. Ia pasti masih punya rasa nasionalisme yang tinggi.
Orang-orang seperti ini ada beberapa di Negeri ini.
.
Saya tergugah menulis karngan ini karena diantara begitu banyak Kompasianer yang menista Aburizal Bakrie, seperti tak ada keseimbangan. Seperti tulisan hari ini 4 Agustus 2010 yang menyebutnya sebagai bandit karena ia menikahkan anaknya dengan super mewah, yang dikatakan ia sebagai pengemplang pajak dengan bantuan Gayus Tambunan.
.
Saya tidak ada hubungan dengan Aburizal Bakrie, saling tidak mengenal. Tapi saya tahu sumbangsihnya pada almamaternya (ITB) boleh dibanggakan yang menunjukkan ia bukan cuma rakus seperti tikus dan haram jadah itu.
.
Kompasianer pasti bisa menemukan beberapa orang yang masuk kategori 1, 2, atau 3.
Dan yang berkategori 3 (sebagaimana AB) tentu saja ada pula beberapa yang saya tahu.

.Tolong dicatat bahwa tulisan ini bukan bermaksud menyatakan persetujuan penulis terhadap cara-cara tidak wajar dalam mengumpulkan harta.

Jumat, 25 Juni 2010

Telangkai, Waspadailah Benih Keretakan

Kata telangkai berasal dari bahasa Melayu, saya belum dapat menemukan kata yang sepadan baik dalam Bahasa Indonesia maupun dalam Bahasa Daerah lain di Indonesia.

Pada zaman dahulu, perkawinan sepasang muda-mudi lebih banyak dari hasil penjodohan oleh orang tua masing-masing. Dengan perkembangan zaman, pasangan yang akan dijodohkan biasanya sudah saling mengenal, bahkan sering sudah saling mencintai.

Terlepas dari cara mereka berkenalan ataupun diperkenalkan, hampir semua suku di Indonesia melakukan rentetan acara yang menuju perkawinan tersebut.
Biasanya keluarga dari pihak lelaki datang berkenalan ke keluarga perempuan kemudian pada waktu yang tidak begitu lama, pihak keluarga perempuan mendatangi keluarga pihak lelaki juga sekedar berkenalan. Soal pihak mana yang lebih dulu berkunjung tidaklah terlalu mengikat, itu hanya sesuai adat yang disepakati oleh kedua pihak.

Apabila dalam dua kali pertemuan keluarga tersebut ada suatu kesepahaman tentang kelanjutan hubungan antar muda-mudi - dalam istilah keren bisa disebut sebagai MOU - maka peristiwa itulah yang disebut sebagai awal dari masa telangkai .

Hal itu belumlah dapat dikatakan bahwa keduanya telah bertunangan, karena pembicaraan-pembicaraan lanjutan dan rentetan acara masih harus dilalui. Melamar, bertukar tanda (karena dalam Islam tidak ada istilah bertunangan) maksudnya hanya bukti “commitment” bahwa ada itikad akan dilakasanakannya perjodohan, penentuan hari, penentuan biaya, penentuan mas kawin, penentuan gedung tempat acara, cincin kawin, undangan dan lain-lain.

Sampai pada hari dan waktu ijab-kabul dilaksanakan, berakhirlah masa telangkai.

Masa telangkai itu bisa memakan waktu beberapa bulan bahkan ada yang sampai setahun atau lebih. Nah, dalam masa bertelangkai itu sangat sering terjadi hal-hal yang tak terduga yang dapat dan sering juga menyebabkan batalnya pernikahan, menghapus semua “commitment’ yang telah terjadi.

Hal-hal sepele bisa menjadi semacam “lethal poison”, semua rencana hapus dalam sesaat.

Hanya karena tidak sepaham tentang uang lamaran, bisa terjadi batalnya perkawinan. Hanya karena tidak sepaham tentang pakaian adat pengantin, perkawinan bisa batal. Tidak sepaham karena tempat acara, tidak sepaham tentang siapa yang memikul biaya acara, tentang mas kawin, tentang susunan acara, tentang adat yang dipakai bila berasal dari suku yang berbeda, salah ucap sewaktu berunding, semua itu bisa menjadi penyebab batalnya perkawinan. Padahal undangan terkadang sudah dicetak, terkadang sewa gedung sudah dilunasi. Bahkan ada yang undangan sudah dicetak, sewa gedung sudah dibayar, biaya catering sudah dipanjar, eh karena masalah sepele tentang biaya sampingan, perkawinan jadi batal.

Peristiwa yang cukup menyedihkan penah juga penulis dengar, hanya karena saat menebus cincin kawin, si lelaki kebetulan sedang tak punya uang cash, ingin pinjam dari calonnya. Mendengar hal itu calon mertuanya langsung membatalkan. Astaghfirullah!

Ada juga kejadian, salah seorang diketahui masih “contact2″ dengan bekas pacar, batal juga rencana perkawinan yang tinggal menunggu hari.

Jadi waspadalah pada masa telangkai, godaan dan cobaan sangat berat. Kedua pihak baik keluarga maupun kedua calon mempelai harus saling menjaga diri dan menghindar dari benih-benih pertikaian agar kedua sejoli bisa mencapai mahligai yang dicita-citakan.

Rabu, 12 Mei 2010

Hilangnya Sopan Santun Bahasa Ketimuran

Bahasa-bahasa daerah di Indonesia pada awalnya memiliki ciri kesantunan sebagai Bangsa Timur. Bangsa Timur diindikasikan sebagai bangsa-bangsa Asia Timur dan Tenggara sebagai pembedaan atas istilah Bangsa Barat yang umumnya terdiri atas bangsa-bangsa Eropa yang kemudian diperluas meliputi juga bangsa Amerika.

Salah satu ciri bahasa orang Timur adalah dalam menyebutkan diri sendiri selalu merendah, baik kepada orang tua sendiri, kepada orang yang lebih tua, kepada orang yang dihormati ataupun kepada orang yang baru dikenal.

Penulis tidak ingin mengulas bahasa orang timur di Indonesia pada zaman “Siti Nurbaya” misalnya karena saat itu Indonesia masih dijajah, yang kemungkinan dipengaruhi status bangsa jajahan. Yang saya perhatikan adalah perbandingan bahasa penyebutan diri sendiri pada saat ini dengan beberapa dekade sebelumnya.

Sewaktu saya masih dikampung, menyebut diri sendiri kepada orang tua atau orang yang lebih tua adalah saya . Kepada mereka saya memanggil pak atau ibu, kak atau abang.
Sewaktu saya tinggal di Bandung, saya belajar bahasa Sunda sekaligus mencari padanan kata-kata bahasa Indonesia, Sunda dan Jawa. Saya temukan padanan kata saya dari bahasa Indonesia adalah abdi dalam bahasa Sunda dan kula atau dalem (singkatan abdi dalem) dalam bahasa Jawa. Semua kata tersebut bercirikan rakyat jelata yang menyebutkan dirinya kepada raja. Saya (singkatan sahaya), abdi, kula (singkatan kawula) dan dalem sama-sama berarti rakyat dari raja. Dalam hal menyebut diri kepada teman sejajar, dalam bahasa Indonesia tetap saya atau aku. Hal sepadan dalam bahasa Sunda adalah urang atau aing (agak pasaran), sedang dalam bahasa Jawa adalah tetap aku .

Dalam bahasa Sunda sebutan kepada orang tua atau yang dihormati adalah den (singkatan raden) atau yang lebih hormat lagi gan (singkatan dari juragan) atau anjeun (untuk wanita). Kepada yang sejajar disebut maneh, atau sia (agak pasaran).

Dalam bahasa Jawa bahkan ada tingkatan sosial yang membedakan bahasa. Bahasa orang yang derajad sosial tinggi kepada yang lebih rendah, berbeda dengan bahasa orang yang derajad lebih rendah kepada yang lebih tinggi. Hal ini tidak akan saya bahas disini. Panggilan kepada orang yang dihormati bisa sampean, atau panjenengan.

Tapi semua itu ada pada jaman beberapa dekade lalu. Sehingga saya terkaget-kaget pada beberapa tahun terakhir. Pembantu saya orang Sunda, menyebut dirinya aku dan pembantu saya orang Jawa juga menyebut dirinya aku. Teman anak saya berbicara kepada saya menyebut dirinya aku. Semua orang sepertinya mengikuti bahasa sinetron, kepada siapapun menyebut dirinya aku.

Saya bukanlah ingin menghidupkan (kembali) bahasa berbau feodal atau aristokrat, namun saya agak risih juga berbicara dengan seorang anak kecil dan dia menyebut dirinya aku. Saya merasa sopan santun bahasa sebagai orang timur sudah hilang. Masihkah kita mengaku berbudaya tinggi, ramah tamah, sopan santun layaknya orang Indonesia? Sepertinya perkembangan bahasa terlalu proletar sehingga kehilangan sifat sopan santunnya.

Sabtu, 24 April 2010

Tumapel Gempar

Akuwu Tumapel, Tunggul Ametung terbunuh. Siapa pembunuhnya? Ada beberapa petinggi, satria, bahkan pemberontak yang masing-masing punya motif.

Penasihat Akuwu, Belakangka, wakil Kediri (Tumapel termasuk taklukan Kediri), selama ini bekerja sama dengan sang Akuwu dalam menghisap harta rakyat. Tapi dalam hati Belakangka, pembagian harta tidak berimbang. Sang Akuwu terlalu berkuasa dan serakah. Maka sifat serakah Belakangka pun muncul pula. Ia ingin menghabisi Sang Akuwu agar ia jadi Penguasa. Untuk itu ia merekrut seorang ahli senjata, Empu Gandring untuk menjalankan rencananya.

Empu Gandring sebagai ahli membuat senjata juga punya ambisi untuk berkuasa. Iapun menjalankan rencana Belakangka, namun dengan niat ingin berkuasa dan sekaligus akan menyingkirkan Belakangka bila rencana menghabisi sang Akuwu sudah berhasil nantinya. Ia mendekati para prajurit, para satria yang selalu berhubungan dengannya dalam pembuatan senjata.

Salah seorang satria, Kebo Ijo tertarik dengan rencana Empu Gandring. Iapun setuju mengadakan gerakan untuk menyingkirkan sang Akuwu dengan pasukannya, namun dalam hati ia juga punya niat menghabisi Belakangka dan Empu Gandring setelah menyelesaikan sang Akuwu. Kebo Ijo merasa ia lebih berhak menguasai Tumapel sebab dari garis keturunan, hanya ia yang berdarah agak biru.

Dan Ken Arok, si pemberontak yang merasa penindasan yang dilakukan Sang Akuwu Tunggul Ametung telah diluar batas. Sistim perbudakan yang telah dua ratus tahun sebelumnya dihapus oleh Sri Erlangga, raja Kahuripan kini dijalankan oleh keturunannya sendiri Kertajaya, raja Kediri. Dan Tunggul Ametung sebagai akuwunya, mengikuti cara Kediri. Ia melakukan kembali perbudakan, merampok rakyat, membunuh orang-orang yang tak disukainya, bahkan perkosaan dibiarkan terjadi tanpa hukum. Disinilah, paling tidak menurut kisah Arok-Dedes karangan Pramoedya Ananta Toer, Arok adalah satu-satunya yang punya motif lebih bersih dari yang lain.

Keributan, kerusuhan, pemberontakan dari dalam dan dari luar istana melanda Tumapel.

Dan seperti kisah-kisah keberhasilan merebut tahta yang lain, Ken Arok memanfaatkan andalan manusia modern masa kini: informasi. Dengan cerdik ia mengumpulkan informasi, apa dan siapa yang ada dalam lingkup istana, rencana-rencana rahasia masing-masing petinggi dan satria, dan menysun rencananya sendiri.

Singkat cerita, ia membunuh Tunggul Ametung. dan ia berhasil mempengaruhi para prajuritnya dan sisa prajurit Tumapel, bahwa Kebo Ijo lah yang punya motif membunuh sang Akuwu. Bahwa Kebo Ijo menyalahkan Empu Gandring, dan Empu Gandring yang terlebih dulu telah disingkirkan Ken Arok menyalahkan Blakangka tidak lagi didengar. Kebo Ijo dieksekusi, begitu pula Blakangka. Dan dengan mulus Ken Arok “diminta” oleh rakyat untuk menjadi Akuwu dan disahkan dan dilantik secara resmi oleh kaki tangannya dalam pemberontakan, yang seakan orang suci: Dang Hyang Lohgawe.

Lantas apa yang bisa dipetik dari kisah ini untuk saat ini? Sangat berguna sebagai pebanding dalam kehidupan kita bernegara. Pada waktu ini masih ada yang melakoni Belakangka, melakoni Empu Gandring, melakoni Kebo Ijo. Dan peng”Kebo Ijo”an seseorang mungkin telah, masih atau sedang berlangsung dinegeri ini. Mari kita cermati.

Minggu, 04 April 2010

Teknologi Dan Sifat Sosial Pada Manusia Modern

Selama ribuan tahun manusia selalu berusaha meningkatkan kualitas kehidupan dari masa ke masa. Untuk itu manusia mempelajari dan mempergunakan teknologi. Mulai dari teknologi yang paling primitif misalnya cara membuat api, berlanjut ke teknologi membuat barang dari perunggu dan sampai pada penemuan cara membuat besi dan pemanfaatannya bersamaan dengan teknik bercocok tanam.

Dalam waktu yang sangat lama manusia seakan tertatih-tatih dalam upayanya mencapai kwalitas hidup yang lebih layak, karena perkembangan teknologi berjalan sangat lambat. Sampai suatu saat yang disebut Revolusi Industri.

Itu dimulai dengan penemuan mesin uap oleh James Watt pada tahun 1775, dilanjutkan dengan penemuan telegraf, telepon, motor listrik, mesin diesel dan awal pesawat terbang oleh Wright bersaudara tahun 1903 dan mobil model T Ford tahun 1908.

Manusia seakan baru bangun tidur, karena dengan teknologi yang ditemukan membuat semua pekerjaan menjadi mudah dilaksanakan. Kalau dulu jarak yang jauh ditempuh ber bulan-bulan diubah menjadi bilangan hari bahkan jam. Kalau dulu suatu perintah atau informasi harus diantar oleh kurir, diubah menjadi komunikasi “real time”.

Setelah melewati Revolusi Industri, diikuti oleh zaman modern, kini bahkan dikatakan zaman supra modern atau zaman informasi. Artinya segala kegiatan manusia ditentukan oleh informasi. Siapa yang mendapat informasi lebih dulu akan unggul terhadap saingannya. Ini berlaku hampir dalam segala bidang: Pertahanan, Pemasaran, Ekonomi, Teknologi, Kesehatan, Eksploitasi Sumber Daya Alam dan sebagainya.

Begitulah majunya teknologi manusia saat ini, namun ada satu hal yang hampir tak pernah berubah sepanjang masa; kalaupun ada, kemajuannya sangat lambat. Itu adalah sifat sosial, sifat bermasyarakat, sifat ingin menolong dan berkorban untuk orang lain. Bahkan agama sekalipun boleh dikatakan tidak berhasil merubah sifat sosial masyarakat. Di daerah-daerah yang penduduknya terkenal sangat agamis, dimanapun, baik di Indonesia maupun diluar Indonesia, masyarakatnya tetap anti sosial, mementingkan diri sendiri dan tak mau berkorban buat sesamanya. Mencuri, korupsi, merampok, membunuh dan kejahatan kemanusiaan lain seakan tak bisa hapus oleh ajaran agama.

Dalam hal ini sebenarnya kemajuan kita manusia bahkan tertinggal jauh dari beberapa jenis hewan dan serangga. Dalam masyarakat semut dan lebah, perngorbanan diri dalam arti sesungguhnya (mati) untuk kelangsungan hidup kelompok adalah suatu hal yang biasa. Masyarakat mereka sangat teratur, jauh lebih tertib dari manusia.

Tak usah dulu kita bicara soal tabiat manusia secara umum, ambil saja contoh para pemimpin, dalam segala tingkatan, mulai dari Lurah keatas, wakil rakyat di DPR dsb.
Sebenarnya secara fillosofi, paling tidak syarat dasar seorang pemimpin dan penegak hukum harus memiliki sifat sosial tersebut. Bersedia berkorban demi rakyat, berjuang untuk masyarakat, bersedia meninggalkan kepentingan sendiri demi kepentingan masyarakat. Tapi adakah kita menemukan sifat itu disekitar kita? Semua dipenuhi korupsi, semua dipenuhi egoisme yang berlebihan. Tentu saja masyarakat biasa lebih parah lagi.

Tampaknya teknologi yang sangat maju memang menghasilkan kwalitas hidup yang makin baik. Hidup semakin mudah, kesehatan menjadi baik, umur relatif menjadi lebih panjang, dan menyebabkan pertambahan penduduk lebih cepat. Namun disisi lain kwalitas kejahatan kemanusiaan malah semakin menggila oleh kemajuan teknologi. Sekarang kita sudah biasa disuguhi berita tentang pembunuhan dengan perkosaan, mutilasi, sodomi misalnya atau perampokan disertai pembunuhan, atau hanya untuk mengambil sepeda motornya, seseorang dibunuh dan sebagainya. Hal yang sangat langka terjadi dimasa 40 tahun yang lalu atau sebelumnya.

Saat ini kita merasa rasa kemanusiaan mundur seribu tahun kebelakang. Sifat manusia hanya sedikit lebih baik dari sifat suku primitif yang barbar dan kanibal. Dengan pertambahan penduduk yang makin tak bisa dicegah, dimasa mendatang bisa jadi kejahatan makin meningkat, baik volume maupun kwalitasnya akibat persaingan yang semakin keras dalam kehidupan.

Kita melihat agama saja tak mampu mengontrol perilaku masyarakat. Memang dengan adanya agama, masih ada sedikit pengontrol perilaku pribadi. Negaralah yang perlu mengambil peran utama. Dan itu hanya bisa dengan kwalifikasi pemimpin dan penegak hukum yang benar-benar mau berkorban demi rakyat, berjuang untuk masyarakat, tidak egois dan menegakkan hukum dengan benar dan adil.
Kapan ya kita punya para pemimpin dan penegak hukum seperti itu?